Tampilkan postingan dengan label 7. people. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label 7. people. Tampilkan semua postingan

Minggu, 10 Oktober 2010

Pabrik-pabrik yang Dijalankan Buruh: Dari Bertahan Hidup hingga Solidaritas Ekonomi*

Pabrik-pabrik yang ‘diselamatkan’ (recovered) oleh para buruhnya merupakan respon dari dua dekade neoliberalisme dan deindustrialisasi. Dalam suatu gerakan yang tak pernah ada sebelumnya di Amerika Latin, buruh telah mengambil kendali langsung produksi dan operasi tanpa pengusaha - dan bahkan kadang tanpa pengawas (foremen), teknisi, atau spesialis - di 200 pabrik dan tempat kerja di Argentina, sekitar 100 di Brazil dan lebih dari 20 di Uruguay.
Aksi para buruh ini bukanlah hasil dari perdebatan ideologis melainkan dari kebutuhan mendesak. Penutupan massal terhadap pabrik dan perusahaan yang memasok pasar domestik memicu sejumlah buruh untuk mencegah setidaknya beberapa pabrik-pabrik ini agar tidak menjadi gudang-gudang yang ditinggalkan.
Meskipun gerakan buruh yang baru ini bersifat heterogen, banyak permasalahan yang dihadapinya biasa ditemukan dalam serangkaian luas pabrik-pabrik di berbagai sektor produktif. Ini meliputi isu-isu legal untuk memperoleh pengakuan terhadap kepemilikan pabrik, menjamin pasokan bahan baku, ketiadaan modal kerja (working capital), penjualan hasil produksi (product marketing), dan kesulitan teknis yang muncul dari mesin-mesin yang usang atau larinya (exodus) para teknisi dan manajer. Problem-problem demikian telah ditangani dan sering kali diselesaikan oleh para buruh sendiri.
Bubarnya kediktatoran militer (1983 di Argentina, 1985 di Uruguay dan Brasil) telah melahirkan rejim-rejim demokratik, tapi pemerintah-pemerint ah ini sejak awal sangat terkungkung oleh struktur ekonomi, politik, dan sosial warisan periode otoriter tersebut. Warisan ini - dikarakterkan dengan hutang luar negeri yang besar - menyebabkan pemerintahan- pemerintahan tersebut menyetujui berbagai rekomendasi yang ditekankan oleh “Konsensus Washington”. Perubahan ini meliputi penarikan regulasi ekonomi dan pelucutan negara kesejahteraan yang lemah yang telah dibangun dalam negeri-negeri di wilayah tersebut.
Bermula pada 1990, deregulasi finansial dan ekonomi, privatisasi dan penurunan tarif proteksi dan subsidi, menyebabkan banyak pabrik tutup. Kebijakan ini mengakibatkan pengangguran bagi banyak buruh dan semakin buruknya kondisi kerja bagi mereka yang masih bekerja. Ketika pembatasan impor ditanggalkan, terbukalah pintu bagi membanjirnya produk impor, dan industri lokal sering kali tak dapat bersaing. Yang mendapat pukulan paling parah adalah perusahaan kecil dan sedang yang memasok pasar domestik.
Penutupan massif terhadap perusahaan-perusaha an ini hanyalah satu aspek dari restrukturisasi produksi secara mendalam yang dilaksanakan pada tahun 1990an. Sementara itu, sektor-sektor industri terdepan menjadi sangat terkonsentrasi. Ini memperparah pengangguran dan segera menjadi sifat struktural permanen dari ekonomi.
Proses deindustrialisasi di Argentina, Uruguay dan Brasil diikuti oleh pertumbuhan baru yang didasarkan pada penyederhanaan strategi produksi dan transformasi pengorganisiran kerja secara teknik dan sosial. Restrukturisasi tak hanya meningkatkan tingkat pengangguran - menjadi 10% dalam populasi yang aktif secara ekonomi dalam hampir seluruh negeri Amerika Latin, dan di atas 20% pada akhir dekade di Argentina. Itu juga menyebabkan buruh yang di-PHK tidak dipekerjakan kembali dalam pabrik-pabrik terotomatisasi dan terobotisasi yang telah dimodernisasi, karena mereka tak memiliki pelatihan yang diperlukan bagi posisi-posisi baru di pabrik-pabrik tersebut. Lebih lagi, modernisasi jenis ini memperparah kecenderungan eksklusi sosial dan isolasi terhadap kaum miskin.
Bagi banyak buruh, penutupan perusahaan tempat mereka bekerja telah mengutuk mereka ke dalam kehidupan yang terpinggirkan. Ini sangat benar bagi buruh di atas usia 40, yang memiliki kesempatan sangat tipis untuk memasuki kembali pasar tenaga-kerja formal. Pengangguran bukan hanya berarti kehilangan pendapatan tapi juga kehilangan jaminan seperti asuransi kesehatan, dana pensiun dan perumahan. Ini menjelaskan kenapa beberapa buruh memilih untuk berjuang menyelamatkan sumber pekerjaan mereka; yakni, tetap mengoperasikan pabrik bahkan tanpa pemiliknya.
Di Brasil, gerakan penyelematan pabrik mendahului upaya-upaya serupa di Argentina dan Uruguay. Pada 1991, Calzados Makerly di Sao Paulo menutup pintunya dan menghilangkan 482 pekerjaan yang langsung. Dengan dukungan Serikat Buruh Sepatu, Departemen Studi dan Statistik Inter-Serikat Buruh, dan para aktivis akar-rumput (grassroots), para buruh Calzados meluncurkan suatu proses menuju produksi yang dikelola buruh (workers-managed production).
Pada 1994, Asociacao Nacional dos Trabalhadores em Empresas de Autogestao (Asosiasi Nasional Usaha-Usaha yang Dikelola Buruh, ANTEAG) dibentuk untuk mengkoordinasikan respon-respon kreatif yang muncul di awal krisis industrial. ANTEAG saat ini bermarkas di enam negara bagian dan berupaya mendukung proyek-proyek yang dikelola buruh dengan cara menghubungkan mereka dengan berbagai inisiatif organisasi non-pemerintah dan pemerintah negara bagian maupun kotapraja.
Memecahkan masalah serius pendanaan gerakan adalah salah satu tugas terpenting asosiasi tersebut. ANTEAG kini bekerjasama dengan 307 proyek koperasi yang dikelola buruh dengan mempekerjakan 15.000 pekerja; 52 di antarnya adalah perusahaan yang diselamatkan oleh para buruhnya. Perusahaan yang dikelola buruh dapat ditemukan dalam semua cabang industri dari pertambangan mineral (Cooperminas, contohnya, memiliki 381 buruh) hingga tekstil (sejumlah banyak perusahaan kecil, hampir seluruhnya dioperasikan oleh perempuan) dan layanan pariwisata.
ANTEAG melihat pengelolaan buruh (worker management) sebagai suatu model organisasional yang mengkombinasikan kepemilikan kolektif terhadap alat-alat produksi dengan partisipasi demokratik dalam pengelolaan. Model tersebut juga berarti otonomi, yang oleh karenanya para buruh bertanggungjawab terhadap pengambilan keputusan dan kendali perusahaan. Model otonomi mengurangi dipekerjakannya manajer-manajer profesional, dan bila mempekerjakan kaum profesional, mereka harus selalu di bawah kontrol kolektif.
Argentina telah menempuh jalan berbeda dalam hal pabrik yang dijalankan buruh. Di sana, gerakannya muncul saat puncak krisis ekonomi negeri itu dan berkembang maju dengan sangat cepat. Pembentukan usaha-usaha tersebut di Argentina dihubungkan dengan pengalaman akar-rumput dalam gerakan perlawanan yang lahir dari krisis. Gerakan pabrik-pabrik yang dijalankan buruh tumbuh dari kombinasi antara upaya buruh mempertahankan pekerjaannya, organisasi di antara kelompok-kelompok kelas menengah (kaum profesional, pegawai, teknisi) di majelis-majelis pemukiman (neighbourhood assemblies), dan pertemuan-pertemuan buruh pengangguran terorganisir yang dikenal dengan piqueteros. Semua kelompok ini terus memajukan tuntutan dan proposal mereka masing-masing, sambil membangun hubungan dengan usaha-usaha yang dijalankan buruh.
Mayoritas besar pabrik-pabrik yang diselamatkan di Argentina adalah yang berukuran kecil atau sedang, dan sebagian besar dirugikan oleh liberalisasi ekonomi yang diterapkan pemerintahan Carlos Menem pada tahun 1990an. Mereka menjangkau sektor yang amat luas: lebih dari 26% adalah industri metalurgi, 8% manufaktur perangkat listrik. Perusahaan percetakan, transportasi, pemrosesan makanan, tekstil, gelas dan kesehatan masing-masing mewakili di bawah 5%. Setengah dari jumlah tempat kerja tersebut telah beroperasi selama lebih dari 40 tahun dan, ketika diambil alih oleh para buruh, rata-rata mempekerjakan 60 karyawan. Hanya 13% memiliki lebih dari 100 pekerja.
Sekitar 71% pabrik yang dijalankan buruh mendistribusikan pendapatannya secara egalitarian (buruh pembersih [janitor] mendapat bagian sama dengan pekerja berketrampilan tinggi), dan hanya 15% melanjutkan kebijakan upah yang diterapkan sebelum pendudukan pabrik. Meskipun proses penyelamatan pabrik dimulai pada pertengahan 1990an, dua pertiga dari perusahaan tersebut diambil-alih pada tahun-tahun kataklismik sosial 2001 dan 2002. Ini menggarisbawahi hubungan dekat antara gerakan perlawanan akar-rumput terhadap krisis ekonomi dan pengambil-alihan pabrik.
Tujuh dari 10 pabrik diselamatkan hanya setelah pertarungan sengit - pengambil-alihan secara fisik dalam hampir setengah jumlah kasus dan “acampadas en la puerta” (pendudukan berkepanjangan di gerbang-gerbang pabrik) dalam 24% kasus. Dalam kasus-kasus ini, pendudukan paksa bertahan rata-rata selama lima bulan, yang menunjukkan intensitas konflik yang dijalani para buruh sebelum memenangkan kendali pabrik.
Survey menunjukkan bahwa pabrik-pabrik yang menjalani konflik intens dan panjang adalah yang paling cenderung menerapkan distribusi pendapatan secara egalitarian dan mengambil bagian dalam majelis-majelis pemukiman dalam pemukiman kelas menengah. Hanya 21% perusahaan yang diselamatkan mempertahankan para pengawas (foremen) mereka yang lama, dan hanya 44% mempekerjakan personil administrasi mereka. Maka, lebih dari setengah pabrik-pabrik yang direbut memulai produksinya dengan hanya  kerja-kerja manual. Terlepas dari pertempuran sengit dan seringkali melelahkan untuk memenangkan kendali pabrik, tempat-tempat kerja tempat berlangsungnya pertempuran sengit menunjukkan tingkat kesuksesan tertinggi - rata-rata 70% kapasitas keluaran digunakan dalam pabrik-pabrik ini dibandingkan dengan 36% di pabrik bertingkat konflik rendah. Serupa dengan itu, fasilitas-fasilitas yang ditinggalkan oleh para supervisor dan pengelola menggunakan kapasitas produktif yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang masih melibatkan supervisor dan pengelola (70% versus 40%).
Pandangan sekilas terhadap beberapa pengalaman spesifik mengungkapkan salah satu aspek paling menarik dari gerakan di Argentina - hubungan erat yang dibangun antara para buruh di perusahaan yang diselamatkan, warga terorganisir dalam majelis-majelis pemukiman dan kelompok-kelompok piquetero. Melalui berbagai bentuk kolaborasi erat, para buruh berhasil memperluas jaringan mereka hingga melampaui lantai pabrik.
Dua usaha yang diselamatkan - Chilavert (rumah grafis) dan El Aguante (pembuatan roti) - mampu bertahan berkat peran kepemimpinan yang dimainkan oleh majelis-majelis pemukiman dalam mengambil alih fasilitas. Pada akhir Mei 2002, para pengelola Chilavert, berlokasi di wilayah Pompeya di Buenos Aires, menelpon polisi untuk mengusir para buruh yang menduduki pabrik. Majelis Kerakyatan Pompeya, maupun berbagai majelis dan kelompok warga lainnya, melibatkan diri dengan menyerukan pertemuan untuk mendiskusikan masalah ini dan kemudian mengkomunikasikan via telefon atau omongan mulut untuk mengirimkan kelompok-kelompok pemukiman untuk mendukung para buruh dalam berulang kali upaya pengusiran. Situasi serupa muncul di pabrik-pabrik lain. Dalam banyak kasus, aliansi antara buruh dan warga pemukiman terbukti krusial, baik dalam hal warga yang terorganisir dalam majelis atau yang secara formal tidak terorganisir sama sekali.
Panificadora Cinco (sebagaimana Koperasi El Aguante dikenal sebelumnya) ditutup pada bulan Oktober 2001, 80 karyawannya di-PHK tanpa uang tunjangan. Pada April 2002, majelis pemukiman Carapachay demi mencari cara mendapatkan roti murah membangun hubungan dengan suatu kelompok beranggotakan 20 buruh yang di-PHK oleh pabrik pembuat roti tersebut. Setelah suatu pertemuan bersama, warga dan mantan buruh mengambil alih pabrik. Selama 45 hari mereka melawan percobaan pengusiran, sementara warga sekitar dan buruh mendirikan tenda di luar pabrik dalam sebuah aguante (secara longgar ditejemahkan sebagai “daya tahan”). Mereka akhirnya berhasil memenangkan kepemilikan pabrik tersebut.
Solidaritas oleh warga lingkungan memainkan peran menentukan: anggota majelis, piqueteros dan aktivis kiri yang bertugas patroli keamanan menyelenggarakan tiga festival: aksi jalan di barrio, kecaman publik terhadap pemilik, upacara May Day, temu wicara, perdebatan dan aktivitas budaya. Meskipun ini suatu pengecualian (exceptional) , kasus ini mengungkap bagaimana suatu perjuangan sosial dapat menarik garis teritori baru, membangun hubungan antara sektor masyarakat yang sebelumnya saling tidak peduli.
Dalam kasus perusahaan metalurgi IMPA, organisasi buruh membantu konsolidasi kelompok pemukiman sekitar dan merekatkan aliansi yang lebih kuat di antara keduanya. Pabrik yang dijalankan pegawainya itu mendapat dukungan warga sekitar bahkan sebelum para buruhnya mengorganisir majelis di zona itu. Kemudian para buruh berkeputusan membuat suatu pusat budaya sebagai upaya merangkul komunitas sekitar dan membangun solidaritas dengan gerakan sosial dan warga lingkungan. Pusat tersebut merupakan suatu keberhasilan dan membuka jalan bagi upaya yang kini ditempuh oleh pabrik-pabrik lainnya yang diselamatkan, yang para buruhnya menyadari pentingnya melepaskan diri dari isolasi dalam pabrik dan gudang-gudang.
Secara serupa, di tengah-tengah konflik di suatu koperasi roti bernama Harapan Baru, sebuah kelompok yang terdiri dari anggota majelis pemukiman, para psikologis yang memiliki hubungan dengan majalah Topia, dan artis-artis lokal membawa suatu proposal ke hadapan majelis buruh untuk mendirikan suatu pusat seni dan budaya untuk menggalang dukungan warga pemukiman dan mengangkat profil sosial koperasi tersebut. Kini pusat budaya tersebut menyelenggarakan pelatihan harian di bidang musik, teater, tari, sandiwara boneka, sastra dan pertamanan; menawarkan resital dan sandiwara; menayangkan film-film pilihan untuk dewasa maupun anak-anak; dan mengorganisir konferensi bagi para intelektual ternama.
Contoh-contoh ini mendemonstrasikan salah satu karakteristik unik gerakan buruh: masih sebagai benih namun membesar dan menyebarkan akar-akar teritorial. Hubungan antara usaha-usaha yang dijalankan buruh dan majelis pemukiman menunjuk kepada minat masyarakat yang semakin besar dalam berkomitmen mensukseskan perusahaan tersebut dan juga kepada tekad para buruh untuk menjangkau ke luar gerbang pabrik dan merasa sebagai bagian dari gerakan sosial yang lebih luas. Dalam beberapa kasus, ini dimanifestakan oleh komitmen pabrik untuk mempekerjakan warga lingkungan yang menganggur untuk mengisi lowongan pekerjaan. Maka, dengan menjaga aktivisme komunitas, membangun kembali ikatan sosial dan bergerak menuju “teritorialisasi” perjuangan, gerakan penyelamatan- pekerjaan (job-recovery movement) berupaya menangani permasalahan yang dihadapinya: hubungan antara operasi yang dikelola pegawai dengan pasar lokal.
Solidaritas bermula ketika muncul kolaborasi antara warga sekitar (bertindak secara individual atau melalui majelis),  pabrik-pabrik yg dijalankan buruh, kelompok-kelompok mahasiswa dan piqueteros. Ketika suatu pabrik mulai beroperasi di bawah kendali buruh, solidaritas ini biasanya mengambil dua jalan: itu dapat terinstitusionalkan lewat organisasi yang besar dan stabil seperti ANTEAG di Brasil, atau, sebagaimana yang terjadi di tempat-tempat kerja di Argentina, hubungan horizontal dapat terjalin dengan inisiatif lainnya, seperti pusat budaya di pabrik-pabrik atau inisiatif yang menyangkut kebutuhan gerakan secara keseluruhan, khususnya mengenai hubungannya dengan pasar.
Brasil telah mengembangkan suatu gerakan lebar yang dihubungkan dengan solidaritas ekonomi, dengan seluruh jaringan distribusi hasil produksi dibuat oleh kaum tani tanpa tanah (landless peasants) dan koperasi produksi. Di Argentina, hubungan ini telah terbirokratisasi tapi kini lahir kembali di tingkat akar-rumput. Di puncak krisis ekonomi, jaringan barter tumbuh secara eksponensial, pernah hingga melibatkan dua sampai lima juta rakyat. Meskipun gerakan barter kemudian menurun, ia berkontribusi terhadap perdebatan tentang bagaimana menjalankan perdagangan di luar pasar monopolistik. Pengalaman baru yang dikembangkan di Argentina berupaya menghindari pembentukan struktur besar yang melebihi kontrol kolektif akar-rumput dan sebaliknya lebih memilih hubungan “muka ke muka”.
Menyusul protes massa pada 19 dan 20 Desember 2001 yang berujung pada kejatuhan Presiden Argentina Fernando de la Rua. Hubungan produksi antara pabrik-pabrik yang terselamatkan, piqueteros, kaum tani dan majelis pemukiman telah berlipat ganda. Sifat umum dari sektor-sektor dan gerakan sosial ini adalah bahwa mereka cenderung memproduksi untuk kebutuhan mereka sendiri. Kelompok seperti piqueteros menanam tanaman, memanggang roti dan memproduksi barang-barang lainnya, dan sebagian mendirikan peternakan babi dan kelinci atau penangkaran ikan. Sejumlah majelis lingkungan memanggang roti, memasak makanan, menyediakan produk-produk kebersihan dan kosmetik, atau berkolaborasi dengan cartoneros (orang yang hidup dari memulung dan mendaur ulang sampah).
Beberapa majelis warga melakukan kerja-kerja menarik yang mengaburkan pemisah antara produsen dan konsumen. Terdapat 67 majelis kerakyatan di Buenos Aires dan lebih dari setengahnya bersifat otonom dan terkoordinasikan di tingkat teritorial. Sektor ini secara aktif menjunjung perdagangan adil (fair trade) dan solidaritas melalui konsumsi yang cermat. Beberapa aktivitas komersial juga telah menumbuhkan berbagai upaya lintas sektor: produsen di pedesaan, piqueteros, anggota majelis dan buruh pabrik yang terselamatkan mulai menjalin ikatan langsung tanpa mediasi pasar. Dalam satu sisi, upaya experimental ini memulihkan sifat asli pasar, yang digambarkan oleh Fernando Braudel dan Immanuel Wallerstein sebagai berkarakter transparan, berprofit sedang, kompetisi terkendali, kebebasan, dan di atas segalanya, dalam wilayah “rakyat biasa”.
Beberapa pengalaman mendemonstrasikan prinsip-prinsip tersebut dalam prakteknya: Palermo, di pinggiran Buenos Aires, menyelenggarakan pameran perdagangan adil selama dua hari tiap minggu dengan menggelar lebih dari 100 stan. Pameran itu hanya menjual produk yang dibuat oleh majelis pemukiman, kelompok piquetero dan pabrik-pabrik yang diselamatkan. Barang yang dijual meliputi tas yang dibuat dari bahan bekas, alat-alat pembersih, roti, popok, komputer daur ulang, kertas daur ulang, pasta buatan tangan, kerajinan tangan dan selai.
Dalam contoh lainnya, buruh dan warga berkolaborasi dalam produksi dan distribusi satu merek yerba mate (teh yang populer di wilayah tersebut) yang dikenal sebagai Titrayju (akronim untuk Tierra, Trabajo, y Justicia, atau Tanah, Buruh, dan Keadilan). Teh ini diproduksi oleh suatu organisasi produsen rural kecil di Argentina utara yang bernama Gerakan Agraria Misiones. Pengoperasiannya telah menghindari eksploitasi perantara pada tahun lalu dengan bermitra dengan 30 majelis pemukiman yang menjual dan mendistribusikan teh itu secara langsung di Buenos Aires, dengan dibantu piqueteros dan organisasi akar-rumput lainnya.
Menggunakan ruang kreatif yang dibuka oleh aksi-aksi protes menentang krisis ekonomi Argentina, Koperasi Majelis (Cooperativa Asamblearia) didirikan pada 2004 oleh majelis di pemukiman berpenghasilan menengah dan menengah-atas di Nunez dan Saavedra. Majelis itu pertama-tama memulai dengan pembelian oleh komunitas (community purchasing), kemudian mengorganisir suatu koperasi yang mendistribusikan berbagai produk dari lima pabrik yang terselamatkan, sebuah koperasi agraria dan beberapa majelis pemukiman lainnya. Hal serupa juga sedang dilakukan oleh mantan pegawai El Tigre, sebuah supermarket yang dikelola buruh di kota Rosaria yang menjual produk-produk dari pabrik-pabrik terselamatkan di seluruh negeri maupun dari kebun-kebun komunitas dan petani kecil.
Meskipun gerakan di Argentina masih dalam tahap awalnya, ia telah menciptakan bentuk-bentuk pemasaran baru yang melampaui pengaturan barter yang mengawalinya. Guna dari barter adalah untuk menciptakan suatu alat penukar yang dapat memfasilitasi suatu sistem ekonomi alternatif yang masif. Upaya baru ini, di sisi lain, memproritaskan kriteria etik dan politik sehubungan dengan bagaimana barang-barang diproduksi dan dipasarkan, dan mereka berupaya menutup jurang antara produsen dan konsumen dengan mempromosikan hubungan langsung, dari muka-ke-muka. Koperasi Majelis, contohnya, berupaya “mempromosikan produksi, distribusi, pemasaran, dan konsumsi barang dan jasa dari pabrik-pabrik yang dikelola buruh, yakni, produk yang merupakan buah hasil kerja kepemilikan kolektif buruh,” menurut sebuah brosur yang memperkenalkan Koperasi itu. Tiga prinsip dasar yang memandu aksi-aksi kelompok itu: produksi yang dikelola buruh, konsumsi yang bertanggung jawab dan perdagangan adil. Prinsip-prinsip ini membentuk bagian dari ekonomi solidaritas yang diupayakan pembangunannya oleh usaha-usaha yang dijalankan buruh dan organisasi pemukiman untuk melepas ketergantungan mereka terhadap pasar dominan.



http://kasbiindonesia.multiply.com/journal/item/21/Pabrik-pabrik_yang_Dijalankan_Buruh_Dari_Bertahan_Hidup_hingga_Solidaritas_Ekonomi

Petani Teh Rakyat Masih Sukar Berkompetisi

Petani teh di Desa Ganjarsari, Kec. Cikalongwetan, Kab. Bandung Barat memerlukan investor untuk mengembangkan usaha mereka. Selama ini, para petani teh mengolah sendiri pucuk daun teh hijau menggunakan alat dan metode manual. Oleh karena itu, pemasaran hasil teh olahan belum bisa optimal terlebih masih kurangnya modal untuk pengembangan usaha.
Memen, Kepala Desa Ganjarsari mengatakan, industri teh olahan menjadi mata pencaharian utama di desanya. Tak kurang dari 41 persen penduduk desanya berkecimpung dalam bisnis produksi teh serbuk. "Sebanyak 600 KK di antaranya memiliki kebun teh sendiri dengan luas yang bervariasi, sementara sekitar 300 KK lantas menjadi buruh petik teh," katanya, Rabu (21/10).
Dari luas area Desa Ganjarsari yang mencapai 1.100 hektare, 45 persen di antaranya merupakan kebun teh. Dari seluruh luas kebun teh itu, 300 hektare merupakan perkebunan teh milik rakyat/warga, 350 hektare milik PTPN VIII Pangheotan, dan sisanya termasuk kawasan hutan lindung milik Perhutani .
Dalam satu kali masa petik, sebanyak 1 ton pucuk daun teh segar dari kebun teh rakyat itu dapat dikeringkan menjadi 220 kg teh kering. Untuk selanjutnya, teh kering akan diolah lagi menjadi serbuk teh sebelum dijual.
Tengkulak
Menurut Memen, selama ini, pola pemasaran serbuk teh dari desanya masih tradisional. Yaitu, menjual serbuk teh dalam bentuk bal/karung ke bandar besar atau tengkulak. "Untuk proses selanjutnya, kami tidak tahu. Polanya masih seperti itu. Hingga saat ini, lokasi pemasaran masih taraf lokal Kab. Bandung Barat hingga Kab. Purwakarta, adapun sampai ke luar kota baru mencapai Kab. Sukabumi," kata dia.
Memen berharap ada perhatian dari pemerintah terkait pengembangan industri teh rumahan di desanya. Keinginan ini mulai menuai harapan ketika Dinas Perdagangan, Industri, Koperasi, dan UKM (Disperindagkop) Kab. Bandung Barat memberikan bantuan berupa 1 unit mesin Yanmark 20 PK, 1 unit mesin penggiling, 1 unit mesin Jackson, 1 unit mesin multi pengering, serta pelatihan terhadap 20 orang pemilik industri kecil menengah (IKM) teh di Desa Ganjarsari.
Menurut Kasi Perindustrian Disperindagkop Kab. Bandung Barat Avira Nurfashihah, produk IKM teh di Kec. Cikalongwetan, utamanya di Desa Ganjarsari masih sulit untuk bersaing dengan kompetitor. Rendahnya daya saing produk serta keterbatasan kualitas sumber daya manusia menjadi penyebabnya.
"Rendahnya saing tersebut terlihat dari kemasan produk yang kurang menarik. Kami berupaya memberikan pelatihan ini untuk meningkatkan wawasan petani teh sehingga bisa meningkatkan mutu produk akhir dari pengolahan teh," katanya.




http://www.pn8.co.id/pn8/index.php?option=com_content&task=view&id=61&Itemid=1

PENGERTIAN, TUJUAN DAN MANFAAT PENILAIAN KINERJA KARYAWAN

Pengertian Penilaian Kinerja Karyawan
Dalam buku yang berjudul :”Manajemen Sumber Daya Manusia” (1995:327), menurut Henry Simamora kinerja karyawan adalah tingkat terhadap mana para karyawan mencapai persyaratan-persyaratan pekerjaan.
Yang dimaksud dengan sistem penilaian kinerja ialah proses yang mengukur kinerja karyawan. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi penilaian kinerja karyawan adalah :
1. karakteristik situasi,
2. deskripsi pekerjaan, spesifikasi pekerjaan dan standar kinerja pekerjaan,
3. tujuan-tujuan penilaian kinerja,
4. sikap para karyawan dan manajer terhadap evaluasi
Tujuan Penilaian Kinerja
Tujuan diadakannya penilaian kinerja bagi para karyawan dapat kita ketahui dibagi menjadi dua, yaitu:
Tujuan evaluasi
Seorang manajer menilai kinerja dari masalalu seorang karyawan dengan menggunakan ratings deskriptif untuk menilai kinerja dan dengan data tersebut berguna dalam keputusan-keputusan promosi. demosi, terminasi dan kompensasi.
Tujuan pengembangan
Seorang manajer mencoba untuk meningkatkan kinerja seorang karyawan dimasa yang akan datang.
Sedangkan tujuan pokok dari si stem penilaian kinerja karyawan adalah: sesuatu yang menghasilkan informasi yang akurat dan valid berkenaan dengan prilaku dan kinerja anggota organisasi atau perusahaan.
Manfaat penilaian kinerja karyawan
Pada umumnya orang-orang yang berkecimpung dalam manajemen sumber daya manusia sependapat bahwa penilaian ini merupakan bagian penting dari seluruh proses kekaryaan karyawan yang bersangkutan. Hal ini penting juga bagi perusahaan dimana karyawan tersebut bekerja. Bagi karyawan, penilaian tersebut berperan sebagai umpan balik tentang berbagai hal seperti kemampuan, kelebihan, kekurangan, dan potensi yang pada gilirannya bermanfaat untuk menentukan tujuan, jalur, rencana dan pengembangan karir.
Dan bagi organisasi atau perusahaan sendiri, hasil penilaian tersebut sangat penting artinya dan peranannya dalam pengambilan keputusan tentang berbagai hal, seperti identifikasi kebutuhan program pendidikan dan pelatihan, rekruitment, seleksi, program pengenalan, penempatan, promosi, sistem imbalan dan berbagai aspek lain dari proses dari manajemen sumber daya manusia secara efektif. 

http://dansite.wordpress.com/2009/04/10/pengertian-tujuan-dan-manfaat-penilaian-kinerja-karyawan/



Koki

Jumat, 08 Oktober 2010

Pengertian dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Kerja

Konsep produktivitas kerja dapat dilihat dari dua dimensi, yaitu dimensi individu dan dimensi organisasian. Dimensi individu melihat produktivitas dalam kaitannya dengan karakteristik-karakteristik kepribadian individu yang muncul dalam bentuk sikap mental dan mengandung makna keinginan dan upaya individu yang selalu berusaha untuk meningkatkan kualitas kehidupannya. Sedangkan dimensi keorganisasian melihat produktivitas dalam kerangka hubungan teknis antara masukan (input) dan keluaran (out put). Oleh karena itu dalam pandangan ini, terjadinya peningkatan produktivitas tidak hanya dilihat dari aspek kuantitas, tetapi juga dapat dilihat dari aspek kualitas.
Kedua pengerian produktivitas tersebut mengandung cara atau metode pengukuran tertentu yang secara praktek sukar dilakukan. Kesulitan-kesulitan itu dikarenakan, pertama karakteristik-karakteristik kepribadian individu bersifat kompleks, sedangkan yang kedua disebabkan masukan-masukan sumber daya bermacam-macam dan dalam proporsi yang berbeda-beda.
Produktivitas kerja sebagai salah satu orientasi manajemen dewasa ini, keberadaannya dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap produktivitas pada dasarnya dapat diklasifikasikan kedalam dua jenis, yaitu pertama faktor-faktor yang berpengaruh secara langsung, dan kedua faktor-faktor yang berpengaruh secara tidak langsung.

Remunerasi
Remunerasi adalah merupakan imbalan atau balas jasa yang diberikan perusahaan kepada tenaga kerja sebagai akibat dari prestasi yang telah diberikannya dalam rangka mencapai tujuan perusahaan. Pengertian ini mengisyaratkan bahwa keberadaannya di dalam suatu organisasi perusahaan tidak dapat diabaikan begitu saja. Sebab, akan terkait langsung dengan pencapaian tujuan perusahaan. Remunerasi yang rendah tidak dapat dipertanggungjawabkan, baik dilihat dari sisi kemanusiaan maupun dari sisi kelangsungan hidup perusahaan.
Secara teoritis dapat dibedakan dua sistem remunerasi, yaitu yang mengacu kepada teori Karl Mark dan yang mengacu kepada teori Neo-klasik. Kedua teori tersebut masing-masing memiliki kelemahan. Oleh karena itu, sistem pengupahan yang berlaku dewasa ini selalu berada diantara dua sistem tersebut. Berarti bahwa tidak ada satupun pola yang dapat berlaku umum. Yang perlu dipahami bahwa pola manapun yang akan dipergunakan seyogianya disesuaikan dengan kebijakan remunerasi masing-masing perusahaan dan mengacu kepada rasa keadilan bagi kedua belah pihak (perusahaan dan karyawan).
Besarnya tingkat remunerasi untuk masing-masing perusahaan adalah berbeda. Perbedaan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor yang mempengaruhinya diantaranya, yaitu permintaan dan penawaran tenaga kerja, kemampuan perusahaan, kemampuan dan keterampilan tenaga kerja, peranan perusahaan, serikat buruh, besar kecilnya resiko pekerjaan, campur tangan pemerintah, dan biaya hidup.
Dilihat dari sistemnya pembelian remunerasi dapat dibedakan atas prestasi kerja, lama kerja, senioritas atau lama dinas, kebutuhan, dan premi atau upah borongan
Pendidikan dan Latihan
Pendidikan dan latihan dipandang sebagai suatu invesatasi di bidang sumber daya manusia yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas dari tenaga kerja. Oleh karena itu pendidikan dan latihan merupakan salah satu faktor penting dalam organisasi perusahaan. Pentingnya pendidikan dan latihan disamping berkaitan dengan berbagai dinamika (perubahan) yang terjadi dalam lingkungan perusahaan, seperti perubahan produksi, teknologi, dan tenaga kerja, juga berkaitan dengan manfaat yang dapat dirasakannya. Manfaat tersebut antara lain: meningkatnya produktivitas perusahaan, moral dan disiplin kerja, memudahkan pengawasan, dan menstabilkan tenaga kerja.
Agar penyelenggaraan pendidikan dan latihan berhasil secara efektif dan efisien, maka ada 5 (lima) hal yang harus di pahami, yaitu 1) adanya perbedaan individual, 2) berhubungan dengan analisa pekerjaan, 3) motivasi, 4) pemilihan peserta didik, dan 5) pemilihan metode yang tepat.
Pendidikan dan latihan bagi tenaga kerja dapat diklasifikasikan kepada dua kelompok, pertama, yakni pendidikan dan latihan bagi tenaga kerja yang termasuk kepada kelompok tenaga kerja operasional, kedua, pendidikan dan latihan bagi tenaga kerja yang termasuk kepada kelompok tenaga kerja yang menduduki jabatan manajerial. Untuk masing-masing kelompok tenaga kerja tersebut diperlukan metode pendidikan yang berbeda satu sama lain
Pengertian dan Proses Perencanaan Tenaga kerja
Perencanaan tenaga kerja merupakan bagian integral dari perencanaan pembangunan. Rencana pembangunan memuat berbagai kegiatan yang akan dilaksanakan di seluruh sektor atau sub sektor. Setiap kegiatan yang akan dilaksanakan membutuhkan tenaga kerja yang sesuai. Perencanaan tenaga kerja memuat perkiraan permintaan atau kebutuhan dan penawaran atau penyediaan tenaga kerja, serta kebijakan maupun program ketenagakerjaan yang diperlukan dalam rangka menunjang keberhasilan pelaksanaan pembangunan.
Perencanaan tenaga kerja dapat dilakukan pada tahap perusahaan, lembaga pemerintah atau unit organisasi swasta lainnya. Perencanaan tenaga kerja seperti ini disebut perencanaan tenaga kerja mikro. Pemerintah biasanya juga membuat perencanaan tenaga kerja dalam cakupan wilayah tertentu maupun secara nasional. Jenis perencanaan tenaga kerja seperti itu dikenal sebagai perencanaan tenaga kerja makro, nasional atau perencanaan tenaga kerja regional.
Sistem perencanaan tenaga kerja menunjukkan kedudukan perencanaan tenaga kerja dalam kerangka perencanaan pembangunan secara keseluruhan. Perencanaan pembangunan yang disertai dengan data-data kependudukan dan informasi pasar kerja merupakan masukan utama dalam penyusunan perencanaan tenaga kerja. Hasil perencanaan tenaga kerja adalah berupa rencana tenaga kerja.
Dalam sistem perencanaan pembangunan yang melihat perencanaan tenaga kerja sebagai bagian integral dari perencanaan pembangunan, maka proses perencanaan tenaga kerja akan melibatkan instansi. Proses perencanaan tenaga kerja itu sendiri menunjukkan langkah-langkah yang perlu ditempuh dalam pelaksanaan perencanaan tenaga kerja. 

http://massofa.wordpress.com/2008/04/02/pengertian-dan-faktor-faktor-yang-mempengaruhi-produktivitas-kerja/