Peringatan 70 tahun usia Bambang Ismawan, lahir 7 Maret 1938, ditandai dengan terbitnya dua buku. Buku pertama berjudul Bambang Ismawan Bersama Wong Cilik dan buku kedua Mazmur Ismawan.
Delapan puluh dari 284 halaman buku pertama berisi perjalanan hidup Bambang Ismawan, lengkapnya Fransiskus Xaverius Bambang Ismawan, mulai dari desa kelahirannya di Babat, Lamongan, Jawa Timur, sampai di Jakarta, tepatnya di Cimanggis, Jawa Barat; sisanya sekitar 200 halaman berisi komentar-komentar teman, kolega, dan orang-orang yang pernah bersentuhan dengan Bambang Ismawan atau Bina Swadaya, yayasan yang menaungi berbagai usaha Bambang Ismawan bersama sejumlah kerabatnya.
Adapun buku kedua berisi napak tilas jejak langkah Bambang Ismawan, sebuah perjalanan retret bersama istri, Sylvia Ismawan, dan sejumlah teman dekat selama tujuh hari, menziarahi berbagai tempat di Jawa, dari Babat sampai Cimanggis. Kedua buku terangkai sebagai kisah sukses seorang wirausahawan sosial Bambang Ismawan.
Nama Bambang Ismawan tak bisa dipisahkan dengan Yayasan Bina Swadaya, sebuah yayasan yang semula bernama Yayasan Sosial Tani Membangun, didirikan bersama I Sayogo dan Ir Suradiman tahun 1967. Komitmen dan perhatiannya pada pemberdayaan masyarakat kecil (wong cilik) sudah terlihat sejak menjadi mahasiswa FE UGM—yang tidak mau menjadi pengusaha seperti umumnya alumni fakultas ekonomi pada masa itu—membawa Bambang Ismawan terlibat dalam kegiatan alternatif pemerintah yang dulu dikenal sebagai organisasi nonpemerintah (ornop), nongovernment organization (NGO), tetapi kemudian dia introdusir nama lembaga swadaya masyarakat (LSM), sebuah kegiatan pemberdayaan masyarakat yang kemudian dipakai sebutan umum segala kegiatan yang tidak berasal dari pemerintah, baik yang memfokuskan kegiatan advokasi maupun aksi langsung.
Bambang Ismawan bersama Bina Swadaya dikenal sebagai pelopor gerakan LSM yang berusaha mandiri, tidak tergantung dari bantuan, lewat berbagai usaha—dalam buku kedua disebutkan sebagai LSM terbesar di Asia Tenggara—karena itu pernah disindir sebagai membisniskan kemiskinan pada era tahun 1980-an. Namun, pada satu dekade kemudian, Bambang membuktikan langkah yang dia lakukan selama ini tidak keluar dari jalur pemberdayaan.
Koperasi yang dirintis awal kegiatan Bina Swadaya membuktikan masyarakat bisa mandiri, yaitu orang memperoleh kepastian atas hak miliknya, yang sejalan dengan pemikiran sosiolog Hernando de Soto, yaitu kepastian hak milik dipenuhi antara lain lewat sertifikasi tanah. Dalam konteks kemudian, mengaku berkali-kali bertemu pemenang Nobel dari Bangladesh, Muhamad Yunus, apa yang dilakukannya dalam menggerakkan swadaya masyarakat adalah mengadvokasi dan memberikan semangat bekerja pada masyarakat.
Bina Swadaya yang dirintis dan dikembangkannya saat ini dari sisi sebuah usaha dengan omzet Rp 20 miliar, 900 karyawan tetap, melayani secara langsung 100.000 keluarga miskin. Pusdiklat di Cimanggis sudah melatih sekitar 7.000 pimpinan LSM pengelola pemberdayaan masyarakat, penerbitan majalah luks pertanian Trubus yang terbit pertama tahun 1969 kini dengan oplah 70.000 eksemplar, penerbitan buku-buku pertanian sejak 25 tahun lalu disusul buku-buku kesehatan, keterampilan, dan bahasa, 12 toko pertanian di Jakarta, Semarang, dan Surabaya.
Bina Swadaya tidak lagi sebuah LSM yang kegiatannya mengandalkan dana pihak ketiga. Dalam usia 70 tahun, setelah 40 tahun lebih menangani Bina Swadaya sebagai Ketua Pengurus, resmi Bambang menyerahkan tongkat kepemimpinan pada Nico Krisnanto, mantan bankir yang sudah beberapa tahun belakangan ini magang di Bina Swadaya.
Tiga jalur
Dalam rencana kerja 10 tahun yang akan datang, Bina Swadaya ingin menjadi LSM yang besar dengan karyawan 5.000 orang pada tahun 2015 (buku pertama, hal 46), dengan tetap berpijak pada roh dan semangat awal, yakni pemberdayaan wong cilik. Sebutan macam-macam, akhirnya tepat yang dirumuskan untuk sosok Bambang Ismawan oleh Harry Tjan Silalahi, ”menolong wong cilik bukan karena merasa sebagai orang besar” (buku pertama, hal 25), menurut Frans Magnis Suseno SJ, ”berusaha di tingkat akar rumputbukan bagi masyarakat, melainkan bersama masyarakat untuk memperbaiki kehidupan mereka” (buku pertama, hal 111).
Menurut Bambang, untuk memberdayakan masyarakat dibutuhkan tiga jalur sebagai pegangan kerjanya selama lebih dari 40 tahun (buku pertama, hal 22-23). Jalur pertama lewat pengembangan kelembagaan. Lewat koperasi berbasis komunitas Bina Swadaya mendampingi lebih dari 20 juta keluarga bekerja sama dengan sejumlah lembaga. Lewat jalur ini koperasi yang digagas pertama kali oleh Bung Hatta sebagai usaha pemberdayaan masyarakat tetapi terperosok berhadapan dengan pengembangan ekonomi yang bermotif utama keuntungan margin, oleh Bina Swadaya dibuktikan sebagai lembaga yang tepat bagi pemberdayaan masyarakat.
Jalur kedua lewat jalur pengembangan ekonomi mikro. Menabung, kebajikan yang mungkin aneh di zaman konsumeristis sebagai penggerak roda ekonomi sekarang, oleh Bambang Ismawan dihidupkan sebagai jalur kedua pemberdayaan.
Dia beri contoh, di Cisalak para bakul harus membayar bunga 20 persen per bulan, di Muara Karang nelayan didera 50 persen bunga. Mengapa? Karena mereka tidak biasa menabung, tidak menyisihkan sebagian pendapatannya untuk disimpan. Yang perlu adalah pengubahan paradigma tentang sikap mengenai uang, lebih jauh tentang sikap hidup.
Bina Swadaya sejak tahun 1970-an mendorong masyarakat rajin menabung. Untuk usaha ini disalurkan kredit mikro bagi lebih dari sejuta orang di berbagai kota, dan tengah mengadopsi sistem Association for Social Advancement (ASA) yang dikembangkan Muhamad Yunus dari Bangladesh lewat Grameen Bank.
Jalur ketiga lewat promosi produk unggulan. Lewat majalah Trubus sudah diperkenalkan paling sedikit 19 produk unggulan yang mengangkat taraf hidup rakyat. Ada agroekspo, pengembangan burung walet, virgin coconut oil, anthurium, lobster air tawar, buah merah, sarang semut, dan lain-lain yang berdampak pada tumbuhnya lebih dari 4.000 industri agrobisnis.
Menurut Bambang, jalur tersulit dari tiga jalur itu adalah jalur kedua. Ada gesekan dan konflik kepentingan. Beberapa orang menyatakan tidak sanggup mengubah peran dari pendamping menjadi tukang tagih yang harus menjamin pengembalian pinjaman, sampai terjadi seorang direktur memperkarakan pengurus yayasan; suatu pekerjaan sulit sebab mengubah paradigma berpikir yang telanjur salah kaprah, dari meminjam uang berarti siap ngemplang menjadi siap mengembalikan.
Aktivitas Bambang diawali dengan keterlibatannya dalam organisasi yang berorientasi pada pemberdayaan masyarakat kecil, terutama sejak tinggal di Asrama Realino Yogyakarta dengan tempaan pemahaman tentang politik oleh Pastor Beek SJ. Adapun tempaan dan komitmen pada rakyat kecil dia belajar dan memperoleh penguatan dari Pastor John Dijkstra SJ, untuk masalah keuangan dari Pastor Christian Melchers SJ. Ketiga sosok itulah yang membentuk Bambang Ismawan sebagai seorang social entrepeneur yang tidak bergantung pada pihak ketiga, tetapi melakukannya secara berkelanjutan karena mampu berkembangberdasarkan penghasilan yang diperoleh dari pelayanan itu sendiri (buku pertama, hal 32-33).
Ada kesamaan antara wirausaha dan wirausaha sosial, yakni sama-sama mencari uang. Perbedaannya, wirausaha bertujuan meningkatkan kesejahteraan pemegang saham, wirausaha sosial bertujuan meningkatkan nilai kesejahteraan anggota masyarakat yang menjadi target pelayanannya. Sosok Bambang Ismawan teringkas dalam kedua buku itu. Dialah seorang wirausahawan sosial dengan payung Bina Swadaya sebagai LSM. Bina Swadaya melakukan kegiatan bisnis untuk mendapatkan keuntungan dan keuntungan itu untuk memberdayakan masyarakat (buku pertama, hal 33).
Rumah tanpa pagar
Sebagai wirausahawan sosial, Bambang mencita-citakan masyarakat Indonesia simbolis sebuah rumah tanpa pagar, rumah tanpa palang dengan halaman yang sama. Dalam kisah perjuangan menegakkan keadilan dan mempresentasikan hak-hak rakyat, tidak akan dijumpai cara-cara kekerasan seperti turun ke jalan atau teriak demo ”mendampingi wong cilik” atau ”memberdayakan masyarakat akar rumput”. Lewal Bina Swadaya ia turun ke lapangan, tidak secara fisik menjadi petani, menjadi bankir, atau menjadi tukang becak. Ia menggerakkan sarana dan ajakan agar masyarakat sendiri berubah sehingga bukankah itu cita-cita dan cara kerja yang seharusnya diambil oleh para penggiat masyarakat: mengubah paradigma cara berpikir dan memberikan sarana untuk itu.
Sebagai persembahan ulang tahun, kedua buku ini nyaris tidak banyak beda dalam hal mendudukkan sosok Bambang Ismawan.
Sebagian besar halaman buku pertama diisi oleh komentar dan tanggapan orang lain. Buku kedua berisi perjalanan napas tilas, sekaligus melukiskan bagaimana refleksi selama perjalanan disampaikan oleh Bambang yang kemudian direkam apik oleh Eka Budianta. Buku kedua melengkapi, memberikan kidung pujian (mazmur) untuk sepak terjang Bambang Ismawan selama 70 tahun, 44 tahun di antaranya dalam Bina Swadaya. Untuk itu buku pertama dan kedua harus dibaca bersama-sama, keduanya saling melengkapi. Begitu dibaca bersama, akan kelihatan banyak kisah dan pernyataan yang diulang-ulang, tumpang tindih, baik dalambuku pertama sendiri maupun dalam buku pertama dan kedua sekaligus.
Masih ada cita-cita Bambang yang belum terpenuhi, di antaranya ingin mendirikan koperasi yang benar-benar koperasi untuk rakyat kecil termasuk di dalamnya kegiatan simpan pinjam. Koperasi merupakan sarana masyarakat untuk mandiri, terlihat besarnya peranan gugus-gusus wilayah (guswil) yang berada di lapangan, apalagi guswil-guswil itu akan diubah menjadi koperasi. Koperasi yang dibayangkan tidak sekadar koperasi simpan pinjam, tetapi koperasi dalam layanan menyimpan, meminjam dan konsultasi (jasa pengembangan proyek), dan pengembangan masyarakat.
Jalan panjang melanjutkan cita-cita masih terbentang, seperti dikritik F Rahardi menyangkut bagaimana menjadikan guswil-guswil itu benar-benar menjadi tumpuan harapan rakyat dengan contoh kasus aktual masalah rawan pangan.
http://www.binaswadaya.org/index.php?option=com_content&task=view&id=161&Itemid=38&lang=in_ID
Tidak ada komentar:
Posting Komentar